Menetapkan angka ideal untuk harga gabah di Indonesia

Menetapkan bilangan ideal untuk nilai tukar gabah di tempat Indonesia

Jakarta – Boleh jadi belum banyak orang yang tersebut itu tahu bahwa kenaikan nilai tukar beras bukan ada serta-merta berdampak pada kesejahteraan petani. Sebab, petani lebih banyak lanjut banyak terkait dengan biaya gabah ketimbang nilai beras.

Untuk saat ini, tercatat baru kali ini nilai tukar gabah bertengger atau menembus bilangan bulat Rp6.800-Rp7.000 per kg.

Bacaan Lainnya

Harga gabah yang tinggi ini, tentu semata mengagetkan banyak pihak. Diskusi mengemuka mempertanyakan apakah naiknya tarif gabah yang dimaksud cukup tinggi ini dipacu oleh kenaikan tarif beras yang digunakan dimaksud naik secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir?

Inilah yang menarik untuk dicermati lebih banyak besar dalam. Sebab, berdasarkan pengalaman, kalau biaya beras naik, biasanya harga jual jual gabah tiada ada serta-merta terlibat terdongkrak dengan bilangan bulat yang mana cukup signifikan.

Sebetulnya, sudah sejak lama nilai tukar jual beras merangkak naik. Pemerintah pun sudah dikerjakan berusaha untuk menurunkannya. Namun, tarif beras dalam pasar belum beranjak turun.

Malah dalam beberapa hari terakhir, kenaikannya terkesan semakin signifikan dan juga juga susah untuk dikendalikan. Menariknya lagi, nilai gabah pun terlihat mengambil bagian naik, sehingga hal ini menjadi substansi diskusi yang dimaksud digunakan banyak dibahas di dalam tempat kalangan masyarakat.

Gabah juga beras

Dalam Agribisnis Pergabahan juga Agribisnis Perberasan, gabah juga beras miliki karakter masing-masing yang digunakan digunakan cenderung berbeda.

Gabah sering dianggap sebagai komoditas milik petani, sedangkan beras adalah milik pedagang. Dari sinilah kemudian muncul istilah Petani Gabah juga Pedagang Beras. Jarang terdengar sebutan Petani Beras lalu juga Pedagang Gabah. Kedua istilah ini menjadi penting untuk dibahas lebih tinggi banyak lanjut.

Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang ini jarang ada petani yang digunakan digunakan mempunyai lumbung padi dalam kehidupan sehari-harinya.

Budaya Leuit sudah tiada lagi menjadi tradisi petani pada dalam negeri ini. Kebiasaan menyimpan gabah untuk digunakan di area area musim paceklik, semakin sulit ditemukan. 

Gaya hidup petani sudah pernah banyak mengalami perubahan. Setiap panen, petani cenderung akan memasarkan semua hasil panenannya.

Bila kenyataannya seperti itu, apakah petani akan datang memperoleh nilai tukar gabah yang digunakan digunakan wajar saat panen berlangsung? Mengingat Pemerintah sudah pernah lama mematoknya lewat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah serta Beras.

Kemudian, apakah HPP akan selalu ditinjau ulang lalu juga disesuaikan dengan situasi yang dimaksud digunakan tercipta pada lapangan? Merujuk pada kondisi yang digunakan mana terjadi sekarang, dimana tarif gabah menembus bilangan Rp7000 menjadi bukti, HPP yang dimaksud digunakan ada sudah waktunya dikaji ulang.

Apapun alasan juga pertimbangannya, naiknya nilai gabah ke bilangan bulat yang yang cukup signifikan, tentu harus dicermati secara seksama. Hal ini agar momentum ini tidaklah sekadar berlalu tanpa ada upaya peningkatan kesejahteraan bagi petani.

Sebagian orang meyakini, naiknya biaya gabah, bukan cuma cuma dampak akibat nilai tukar beras naik. Bahkan juga diyakini, bukan ada yang tersebut merekayasa kenaikan nilai gabah hingga mencapai nomor setinggi itu. Bahkan siapa tahu, naiknya nilai gabah memang bersifat alamiah.

Perhitungan Matang

Penetapan HPP Gabah lalu Beras sendiri, pasti sudah diimplementasikan melalui perhitungan yang digunakan matang. Pemerintah, tentu telah dilakukan terjadi menyerap aspirasi hingga keinginan juga juga harapan berbagai pihak yang tersebut mana terlibat dalam dunia pergabahan juga dunia perberasan, termasuk harapan bahwa penetapan HPP Gabah dilandasi oleh semangat keberpihakan kepada petani secara totalitas, mengingat gabah adalah kepunyaan petani.

Naiknya harga jual jual gabah hingga menembus kisaran Rp6800-Rp7.000 per kilogram, jelas hal ini merupakan berkah tersendiri  bagi kehidupan petani.

Angka ini betul-betul sangat pada atas bilangan HPP Gabah. Petani cenderung diuntungkan dengan kondisi biaya gabah saat ini. Harapannya tentu agar mereka dapat hidup sejahtera, dengan naiknya tarif gabah ini.

Atas gambaran seperti ini, tentu petani akan kecewa jika ada pihak-pihak tertentu yang digunakan berkeinginan untuk menurunkan kembali tarif gabah ke bilangan bulat yang tersebut dimaksud terjadi sebelum kenaikan sekarang ini, sebagai dalih upaya menurunkan nilai tukar beras.

Sebab, biaya gabah kemudian beras tiada berkorelasi secara langsung. Petani sendiri pun sejatinya mengupayakan bila ada upaya menurunkan nilai beras ke tingkat yang tersebut dimaksud wajar, namun bukan dengan cara menekan nilai gabah ke bilangan yang mana dimaksud rendah dan juga juga merugikan petani.

Mengapa? Sebab, sekarang ini, petani pun tercatat sebagai net consumer. Memudarnya budaya lumbung, memproduksi petani tercatat sebagai konsumen yang digunakan digunakan harus membeli beras untuk kebutuhan konsumsi sehari-harinya.

Sehingga upaya menaikkan tarif gabah kemudian menurunkan nilai tukar beras, sebenarnya telah terjadi lama mengumandang sejak 40 tahun lalu.

Sayang, kata-kata itu seperti yang dimaksud digunakan nyaris tak terdengar. Kalau pun terdengar, sanggup belaka masuk telinga kanan juga keluar telinga kiri. Jargon semacam ini, pasti akan disambut oleh sorak-sorai di tempat area kalangan petani lantaran biaya jual gabahnya akan dibeli dengan nilai yang dimaksud cukup tinggi lalu masyarakat pun akan menanggapinya dengan suka ria, akibat nilai tukar beras yang digunakan hal tersebut terjangkau.

Lalu, bagaimana dengan nasib para pedagang? Inilah yang mana perlu menjadi kajian lalu riset. Perhitungan yang tersebut mana lebih besar besar terukur penting untuk dilakukan.

Pemerintah harus didukung untuk dapat melahirkan regulasi nilai tukar gabah juga beras, yang digunakan menguntungkan petani sekaligus juga tiada ada merugikan masyarakat. Bahkan pada kondisi ideal, Pemerintah juga harus didukung agar dapat memposisikan peniaga sehingga memperoleh keuntungan yang mana dimaksud wajar.

Gerak nilai tukar jual gabah lalu nilai tukar beras yang mana yang naik secara bersamaan, tentu cuma menjadi fenomena menarik dalam mencermati dinamika pergabahan lalu perberasan dalam negeri ini.

Ini penting disampaikan, sebab selama ini, jika harga jual jual beras membumbung tinggi, maka dengan cepat dapat diturunkan dan juga juga tiada diikuti dengan naiknya nilai tukar gabah sangat tinggi. Selain itu, Pemerintah juga tiada pernah kesusahan menurunkan biaya beras.

Naiknya nilai jual beras saat ini, tampaknya membawa babak baru dalam pengendalian tarif beras itu sendiri. Berbagai upaya yang digunakan ditempuh Pemerintah seperti dengan operasi pasar atau pun membanjiri pasar dengan beras, terekam belum mampu menurunkan kembali nilai jual beras ke tingkat yang wajar. Dengan begitu, penting dicarikan solusi terkait ada apa sebetulnya dengan dunia perberasan dalam Indonesia saat ini.

Selama ini, biaya gabah selalu dianggap berhubungan langsung dengan biaya beras atau sebaliknya.

Pemikiran naiknya nilai tukar gabah akan memberi keuntungan dunia usaha bagi petani kemudian juga turunnya nilai beras, tidaklah akan memberatkan masyarakat, tampaknya perlu didukung dengan kajian serta analisis yang mana hal itu terukur, holistik, sistemik, dan juga juga komprehensif.

Termasuk dalam menetapkan biaya gabah juga nilai tukar jual beras yang mana ideal agar mendatangkan kesejahteraan bagi semua.

*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
 

Sumber: Antaranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *